Memasuki Tahun 2013 yang terbayang di mata kita adalah suhu politik akan semakin meningkat. Setiap partai politik mulai menghidupkan mesin politiknya untuk menghadapi Pemilu Bulan April Tahun 2014.
Calon-calon wakil
rakyat mulai sibuk turun ke daerah pemilihannya masing-masing, bertemu
konstituennya, mengobral janji dan mimpi. Sambil mungkin berupaya menghapus
memori rakyat akan janji-janji yang tak terlaksana di hari-hari kemarin.
Akankah rakyat kembali terjerumus ke lubang yang sama untuk
memilih wakil-wakil mereka yang pintar berjanji tetapi ingkar menepati ?
Akankah Pemilu 2014 akan menghasilkan wakil rakyat yang
mudah mengobral mimpi ? tapi malah melengos saat ditangih saat telah menduduki
kursi empuk di gedung megah nan mewah.
Tetapi hanya mengumpat dalam hati yang bisa rakyat lakukan
hari ini, karena tak ada lagi yang bisa dituntut dari wakil-wakil mereka.
Transaksi telah selesai dilakukan saat sejumlah uang, paket sembako, kaos
partai, dan sekelompok pemusik dangdut yang disajikan pada saat kampanye untuk
meriahnya pesta demokrasi. Peduli setan kesadaran konstituen, pemilih yang
kritis, komitmen moral antara wakil dan rakyat, semua hanya utopia dan berujung
sebatas transaksional belaka.
Sistem Pemilu Transaksional
Sistem transaksional ini pulalah yang menjadi salah satu
akar permasalahan korupsi para wakil rakyat. Tanpa etika dan moral, minimal
rasa malu, para wakil rakyat, baik secara pribadi ataupun bersama-sama
menggarong uang rakyat. Kasus Century, Hambalang, Departemen Agama, Departemen
Pendidikan, dll, dsb. Ironisnya sistem yang selama ini berjalan nampaknya turut
andil dalam mempertahankan budaya korupsi di parlemen.
Tanpa merasa bersalah bahwa ada amanah yang dititipkan dari
orang per orang yang telah memilihnya di bilik-bilik suara, yang menginginkan
wakil mereka adalah seseorang yang amanah, jujur dan berkualitas. Tak merasa
berdosa saat wakil rakyat hanya melakukan rutinitas datang, duduk, diam, duit,
dan tidak memperjuangkan apapun untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat
(minimal) di daerah pemilihannya.
Sangat jauh panggang dari api apabila ingin ada proses
pencerdasan politik apalagi penanaman nilai-nilai luhur kebangsaan dari sang
calon wakil rakyat dengan konstituennya. Karena proses pemilihan yang
transaksional hanya memerlukan segala hal yang berupa materi: uang, tampang,
pencitraan.
Tak perlu pintar meyakinkan rakyat melalui pidato bernas
yang disajikan secara artikulatif karena menurut mereka rakyat hanya butuh
orkes musik dangdut, uang tunai dan sembako. Tak penting merumuskan program
kerja selama 5 tahun ke depan karena pemilih hanya butuh uang rokok dan uang
bensin untuk menghadirkan mereka di acara pertemuan. Dan terpenting bagi mereka
yang ingin menjadi anggota legislatif, siapkan sejumlah dana yang cukup untuk
beli suara di KPUD untuk mendongkrak perolehan suara yang minim diraih.
Pemilu transaksional seperti layaknya jual beli di pasar.
Ada uang ada barang, ada sembako ada suara, ada kaos ada dukungan, ada musik
dangdut ada mobilisasi masa. Semua dihitung per kepala ditotal menjadi sebuah
angka yang fantastis. Siapkan uang maka siaplah massa.
Sistem pemilu dan pola kampanye semacam itu tentunya tidak
bisa diharapkan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas. Ketika uang
bicara maka hanya mereka yang memiliki modal capital yang mampu melaksanakan
segenap acara seremonial pesta. Padahal mereka yang memiliki uang tidak
selamanya memiliki kapasitas dan integritas sebagai calon wakil rakyat. Pun
tidak semua orang yang tidak memiliki uang juga memiliki kapasitas dan
integritas yang baik.
Tetapi prosesnya harus dibuat sebaik mungkin agar proses
rekruitmen calon wakil rakyat tidak hanya dimonopoly oleh mereka yang memiliki
kemampuan finansial semata.
Berharap pada partai politik selaksa menggantang asap sulit
dibayangkan. Hampir semua partai politik sibuk dengan agenda kekuasaan, saling
sandera dan terus melakukan langkah-langkah pencitraan melalui media. Sekali
lagi rakyat dijejali dengan informasi yang searah, manipulatif, dan tidak
mencerdaskan. Sungguh bukan itu yang diperlukan rakyat.
Ada Tanggung Jawab Kita
Ada tanggung jawab kita selaku generasi penerus yang telah
menikmati sebuah kebebasan. Kebebasan yang hanya bisa dinikmati karena kita
merdeka dan terbebas dari belenggu penjajahan. Kita berhutang kepada para
pahlawan yang gugur mengorbankan harta dan nyawanya untuk memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Kita harus meneruskan perjuangan para pahlawan dalam
dimensi yang berbeda. Musuh kita adalah kebodohan, kemiskinan dan
ketertinggalan.
Ada tanggung jawab kita kelompok masyarakat yang
berpendidikan dan berpengahasilan menengah serta mampu mengakses informasi yang
luas untuk berbuat lebih ketimbang pasif dan menarik diri dari pergulatan
politik. Karena politik yang tidak dikawal oleh kekuatan hati nurani rakyat
hanya akan menjadi tempat bersarangnya perampok, penipu, dan kaki tangan dari
kekuasaan hegemoni yang ingin menyengsarakan rakyat sambil memperkaya kelompok
dan golongannya.
Kita telah mengecap pendidikan yang baik hingga mampu
bekerja baik pula dan memiliki tingkat kesejahteraan diatas rata-rata hidup
bangsa Indonesia punya tanggung jawab sosial, moral dan politik untuk mengawal
proses demokrasi agar berjalan dengan baik, jujur dan adil.
Kalau kita apatis dan menarik diri maka kita sama artinya
dengan mengingkari nikmat yang sudah kita peroleh melalui subsidi pendidikan
yang kita terima setiap tahunnya. Subsidi yang diberikan oleh negara dari uang
hasil keringat seluruh rakyat Indonesia yang membayar pajak, yang merelakan
masa depannya tergadaikan oleh sumber daya alam yang dikelola tidak benar oleh
negara ini. Kita adalah buah dari penikmat subsidi pendidikan hingga kita bisa
hidup sejahtera dan mapan hari ini.
Kita wajib mengembalikan arah perjuangan bangsa Indonesia ke
dalam relnya sebagaimana yang konstitusi tetapkan. Kita jangan menyerah pada
kekuatan politik yang korup, manipulatif dan berupaya menjajah bangsanya
sendiri. Kita melihat dengan jelas kejaliman nampak didepan kita, karena itu
kita harus melawan dengan Tangan Kita, Dengan Mulut Kita, dan Dengan Hati
Kita. Dan itu adalah selemah-lemahnya wujud kecintaan kita kepada bangsa
dan negara Indonesia tercinta.
Sistem Transaksional dan Pembodohan Rakyat
Apabila proses politik hanya berdasarkan pada kekuatan uang
tanpa kualitas maka yang terjadi adalah proses transaksional belaka. Logika
sederhana ketika sang calon sudah terpilih adalah bagaimana mengembalikan modal
yang sudah dikeluarkan untuk membeli tiket menuju kursi wakil rakyat. Karena
itulah kita sering mendengar praktek-praktek calo anggaran, BUMN sebagai sapi
perahan, itu semua adalah akibat dari pola kampanye yang transaksional.
Pola-pola semacam itulah yang telah melahirkan Nazarudin,
Angelina Sondakh, Emir Moeis, Andi Malarangeng, dll. Mereka-mereka adalah para
calon wakil rakyat yang dulu berjanji untuk menjadi wakil yang jujur, amanah,
dan tidak korupsi. Tetapi perjalanan waktu yang pada akhirnya membuktikan bahwa
mereka tak lebih dari pedagang yang berfikir untung dan rugi. Janji tinggalah
janji, saat menjabat semua janji dilupakan.
Pola kampanye transaksional tersebut sesungguhnya berakar
dari pemikiran bahwa rakyat adalah bodoh dan hanya sebagai objek belaka. Rakyat
dapat dieksploitasi dan dibohongi serta mereka tidak memiliki keinginan dan
kemampuan untuk memiliki seorang wakil rakyat yang berkualitas, jujur dan
amanah.
Lebih jauh lagi, mereka-mereka yang menggunakan pola
transaksional sebenarnya hanya melihat politik sebagai sebuah jabatan semata.
Politik sebagai prestise yang memberikan kedudukan yang terhormat kepada
sessorang sehingga dia memiliki hak-hak istimewa dibandingkan dengan masyarakat
kebanyakan. Bagi mereka yang menggunakan pola-pola transaksional hanya
menjadikan Pemilu sebagai seremonial belaka, semacam “pesta” demokrasi. Tanpa
hasil dan tujuan yang jelas maka bukan tidak mungkin pola transaksional ini
yang menjadi mainstream bagi para politisi yang tidak paham akan makna hakiki
menjadi seorang politisi.
Politik adalah Pengabdian
Politik sejatinya adalah pengabdian yang lahir dari sebuah
keterpanggilan dan keinginan untuk membangun kesejahteraan, keadilan, dan
kemandirian bangsa Indonesia. Ujung dari politik adalah kesejahteraan rakyat
serta meningkatnya harkat dan martabat bangsa Indonesia dalam pergaulan
dunia yang bermartabat.
Oleh karena itu politik juga harus dimaknai sebagai
sebuah proses pencerdasan masyarakat dan proses pemberdayaan masyarakat.
Ada dimensi pendidikan dalam politik sebagaimana proses ketauladanan ditegakkan
melalui hal-hal yang prinsip walaupun itu cuma soal yang sederhana. Ada proses
dialog dan tukar fikiran terhadap soal-soal yang dialami oleh rakyat. Moral dan
etika seharusnya menjadi landasan dalam berpolitik bukan menghalalkan segala
cara untuk meraih kekuasaan. Cara-cara Machiavelist semacam itulah yang pada
akhirnya menghasilkan politisi yang tidak memiliki pijakan moral dan etika yang
kuat dalam praktek berpolitiknya.
Karena rakyat sejatinya adalah subjek dan pemegang
kedaulatan. Karena itu rakyat harus dibangkitkan semangatnya serta diberikan
pemahaman yang benar agar mampu berfikir kritis namun tetap objektif. Rakyat
harus diberdayakan melalui kegiatan diskusi, dialog, tukar pikiran, urun rembug
serta berbagai macam kegiatan yang bersifat partisipatif agar memancing rakyat
memiliki keberanian untuk menyampaikan pikiran, ide, dan gagasannya. Rakyat
harus mengemukakan isi hatinya dengan jelas, jujur dan apa adanya.
Jangan malah sebaliknya rakyat dibodohi dan hanya
dimobilisasi untuk meraih suara sebanyak-banyaknya. Namun setelah terpilih
rakyat sama sekali tidak disentuh untuk memperoleh informasi, wawasan dan
pendidikan politik yang akan mencerdaskan sekaligus memberdayakan mereka.
Pola-pola menjadikan rakyat sebagai objek dan bahan eksploitasi adalah tindakan
amoral yang tidak bertanggung jawab. Hal itu hendaknya tidak dilakukan oleh
mereka yang berniat mencalonkan diri menjadi wakil rakyat.
Pemahaman yang salah juga sering terjadi pada mereka yang
berniat menjadi wakil rakyat. Bahwa wakil rakyat bukanlah seorang tuan dan
rakyat abdinya apalagi justru malah minta dilayani oleh rakyat. Justru
sebaliknya wakil rakyat adalah seseorang yang terpanggil untuk melayani dan
mendengarkan keluhan rakyat sambil berupaya mencari solusi dari berbagai
persoalan yang dialami rakyat. Melalui berbagai fungsi yang dimiliki seorang
wakil rakyat dalam hal kebijakan anggaran, program, dan kegiatan dari
kementerian serta instansi terkait agar diarahkan untuk menyelesaikan persoalan
yang dihadapi rakyat.
Namun, bagaimana dapat memperjuangkan aspirasi dan persoalan
rakyat apabila mengetahui persoalannya pun dia tidak mampu. Bagaimana bisa
membela kepentingan rakyat apabila tidak mampu merumuskan apa yang akan
dilakukan selama menjabat nantinya. Lantas bagaimana rakyat akan memastikan
wakil mereka akan bertindak amanah dan jujur serta serius memperjuangkan
persoalan mereka apabila tidak ada mekanisme yang dapat mengontrol wakil rakyat
baik secara langsung ataupun tidak langsung ?
Berapa banyak calon yang berjanji ? Berapa partai yang
berusaha meyakinkan rakyat ? Berapa calon pemimpin dan kepala daerah yang
berkampanye manis ? Ternyata dalam pelaksanaannya mereka semua mengingkari.
Saatnya Rakyat Proaktif Menentukan Wakil Mereka
Pola-pola kampanye yang dilakukan selama ini terbukti tidak
memberdayakan rakyat dan malah hanya menjadikan rakyat sebagai objek semata.
Para calon wakil rakyat hanya melakukan pencitraan tanpa upaya untuk
membangkitkan kecerdasan kritis masyarakat. Selanjutnya rakyat tidak memiliki
mekanisme kontrol terhadap sang calon setelah terpilih. Hubungan yang terbangun
bersifat transaksional dan situasional pada saat kampanye semata tanpa ada
kelanjutan setelah sang calon terpilih nantinya.
Karena itu sudah saatnya rakyat lebih proaktif dalam
menentukan calon wakil mereka dan partai yang akan diusung untuk menjadi wakil
mereka di lembaga legislatif baik pusat maupun daerah.
Secara sadar, sistematis dan terorganisir rakyat harus
melakukan sebuah gerakan untuk menentukan wakil-wakil mereka yang akan duduk
dilembaga legislatif nantinya. Karena itu rakyat pula yang akan menentukan
kriteria-kriteria dari calon wakil rakyat tersebut. Pola hubungan yang akan
dibangun perlu juga ditetapkan oleh rakyat agar tidak terjadi pola “jual beli
putus”. Sehingga selama masa jabatannya wakil rakyat tetap memiliki hubungan
yang kuat, jelas dan efektif. Hal ini juga sebagai perwujudan dari wakil rakyat
yang mengakar dan memahami kondisi dan persoalan pemilihnya.
Mekanisme kontrol juga mutlak dimiliki oleh rakyat terhadap
wakilnya di parlemen. Jangan sampai setelah menjabat yang dilakukan wakil
rakyat malah memperkaya diri dan partainya serta lupa untuk memperjuangkan
rakyat di daerahnya. Termasuk untuk mengganti wakil-wakil rakyat yang terbukti
secara langsung dan sah melakukan tindakan melanggar hukum termasuk korupsi.
Rakyat berhak meminta partai dan lembaga penegak hukum untuk memberhentikan
jabatan wakil rakyat secara langsung. Kesemua pra syarat dan kondisi ini
ditandatangani oleh sang calon melalui kontrak politik yang ditandatangani di
atas materai dan disahkan oleh notaris.
Kriteria yang ditetapkan oleh masyarakat tentunya normatif
sebagaimana yang ditetapkan oleh lembaga penyelenggara pemilu. Namun kriteria
tersebut dipertajam dengan kesediaan sang calon untuk menandatangani sejumlah
persyaratan yang ditetapkan lagi oleh masyarakat. Misalnya soal korupsi
masyarakat dapat menetapkan sebuah kontrak politik yang menyatakan bahwa
seandainya dalam masa jabatannya ditemukan adanya aset yang tidak tercantum
seperti didalam laporan kekayaan pajak kepada negara, maka aset tersebut dapat
disita oleh negara.
Melaporakan kekayaan dan penghasilannya kepada kantor pajak
adalah sesuatu hal yang mutlak dan wajib dilakukan oleh setip warga negara
apalagi calon wakil rakyat. Mengapa ? Karena melalui mekanisme yang dimiliki
oleh negara dan dapat dilakukan kepada setiap warga negara, penghasilan dan
kekayaan yang dimiliki oleh sang wakil rakyat dapat diketahui termasuk oleh
publik. Hal ini sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi harta dan
kekayaan sebelum, saat dan setelah selesai memegang jabatan.
Bahkan rakyat dapat meminta kepada Partai Politik yang
mengusung sang calon agar dapat mengambil kebijakan pemecatan apabila sang
wakil rakyat nantinya terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi.
Bahkan partai politik tersebut secara terbuka dapat mengkampanyekan kebijakan
ini dan bahkan mencantumkannya dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Partai. Sehingga rakyat dengan sendirinya akan memilih partai yang memiliki
komitmen kuat bukan hanya dalam janji dan kampanye politik untuk jujur dan bersih
tetapi juga menetapkannya dalam aturan dan ketentuan berpartai.
Kampanye Partisipasi Masyarakat
Gambaran ideal tentang pemilihan calon wakil rakyat yang
berkualitas, jujur dan amanah tentunya membutuhkan partisipasi dan keterlibatan
masyarakat semenjak dini. Logika mendasar dan sederhana adalah bahwa rakyat
sebagai pemegang kedaulatan dan menginginkan wakilnya yang baikpun jangan
sampai malah menjadi faktor yang mendorong elit dan partai menjadi berpola
transaksional.
Oleh karena itu, konsekwensinya rakyat juga harus membantu
sepenuhnya sang calon mulai dari saat pencalonan, mengamankan suaranya, hingga
mereka terpilih. Kawal terus setiap tahapan dan proses yang berlangsung agar
calon yang benar-benar berkualitas dan menjadi pilihan rakyat akan terpilih
nantinya dan duduk sebagai wakil mereka.
Karena itu sebaiknya sukarelawan tidak mengharapkan imbalan
langsung berupa materi saat memberikan dukungan kepada sang calon. Bahkan,
bukan tidak mungkin masyarakat juga yang harus menggalang dukungan finansial
agar sang calon tidak diberatkan dan malah mengaburkan komitmennya untuk
berperilaku jujur dan amanah saat menjabat nantinya.
Pola-pola semacam ini di negara-negara maju sudah biasa
dilakukan melalui mekanisme public participatory campaign. Justru
masyarakatlah yang proaktif dan terlibat secara penuh baik dalam hal finansial
dan menghadiri berbagai kegiatan yang kesemuanya bersifat kesukarelaan.
Terbentuknya tim relawan untuk memenangkan seorang calon
dengan sendirinya akan meminimalisir pola-pola kampanye transaksional yang
hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuatan uang. Sebaliknya,
secara nyata rakyat dapat melahirkan figur-figur muda yang jujur, bersih,
berkualitas dan merakyat agar dapat menduduki jabatan selaku wakil rakyat.
Kontrak Politik
Karena partisipasi dan dukungan penuh sudah dilakukan oleh
masyarakat hingga terpilihnya sang calon, maka dengan sendirinya masyarakat
dapat menetapkan kontrak politik yang mengikat calon tersebut mulai dari proses
pemilihan sampai habis masa jabatan nantinya.
Masyarakat dapat membuat mekanisme yang mengharuskan untuk
mengalokasian jumlah tertentu dari penghasilan sang wakil rakyat untuk
dikembalikan langsung kepada masyarakat melalui kegiatan kesehatan, pendidikan
dan ekonomi kerakyatan. Pengelolaan dana tersebut tentunya harus dilakukan
secara profesional dan transparan oleh lembaga yang dibentuk bersama para
sukarelawan tadi dan diaudit secara berkala. Sangat wajar dan masuk akal
apabila pola ini diterapkan karena atas peran dan keterlibatan masyarakat maka
sang calon dapat terpilih dengan dana yang minimal.
Selama lima tahun masa jabatannya maka akan terdapat dana
untuk dipergunakan bagi peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi
kerakyatan di daerah pemilihan sang wakil rakyat. Secara terprogram dan
bergiliran masyarakat di setiap kecamatan dapat merasakan manfaat secara
langsung kehadiran seorang wakil rakyat.
Secara khusus pola hubungan yang akan dibangun bersama para
relawan nantinya adalah pola hubungan yang saling mengisi, saling memperkuat,
dan saling memberdayakan. Akan banyak peluang dan kesempatan untuk pengembangan
dan aktualisasi diri bagi para relawan setelah sang calon menjadi wakil rakyat.
Tentunya peluang dan kesempatan tersebut dalam artian yang positif seperti
kesempatan untuk mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan tinggi, atau
kesempatan mengisi jabatan-jabatan publik di daerah. Intinya adalah hubungan
antara relawan dan sang calon tetap akan dibangun selama masa jabatan anggota
legislatif.
Hal ini penting agar tercipta pola saling kontrol dan saling
mengingatkan satu sama lain agar tidak melakukan hal-hal yang negatif dan
bertentangan dengan komitmen awal saat dibangun bersama.
Kriteria Calon Wakil Rakyat
Masyarakat dapat menentukan sekaligus menyiapkan para calon
wakil rakyat yang memiliki kapasitas dan kemampuan serta integritas dan moral
yang baik. Jangan seperti sebuah ungkapan bahwa rakyat membeli kucing dalam
karung. Disinilah pentingnya melihat rekam jejak track record dari sang
calon wakil rakyat selama dia mengemban amanah dalam profesi apapun sebelumnya.
Dibutuhkan gambaran yang jelas bukan hanya komitmen dan keberpihakannya
terhadap persoalan rakyat tetapi juga faktor integritas dan moral yang akan
menjadi faktor penting dalam aspek ketauladanan dan kepemimpinan di masa
datang.
Hal yang paling dasar adalah pemahaman sang calon terhadap
kondisi riil masyarakat dan daerah yang diwakilinya. Pengetahuan yang bersifat
teknis serta didukung oleh data-data terkini yang valid tentang persoalan di
sejumlah sektor menjadi hal yang sangat membantu. Rakyat membutuhkan
calon-calon yang paham terhadap kondisi ril dan persoalan yang dihadapi oleh
mereka. Persoalan-persoalan mendasar seperti kesejahteraan, pendidikan,
kesehatan, perumahan, infrastruktur dasar, adalah sebagian kecil sektor yang
harus dikuasai oleh wakil rakyat secara utuh dan komprehensif.
Jangan sampai ketika menjabat nantinya, wakil rakyat tidak
menguasai persoalan dan tidak mampu mendiskusikan sebuah permasalahan ketika melakukan
rapat dan pembahasan dengan kementerian dan istansi terkait. Pemahaman yang
mendalam terhadap sebuah persoalan harus dimiliki serta wawasan yang luas agar
tepat dalam memposisikan sebuah konteks persoalan mutlak dimiliki wakil rakyat.
Keterkaitan antara soal-soal mikro dan kebijakan makro ditingkat nasional harus
mampu dijembatani agar dihasilkan sebuah solusi yang tepat sasaran dan efisien
dalam penganggaran.
Pemahaman sang calon terhadap fungsi dan kewenangan yang
dimilikinya akan sangat mendukung dalam memberikan gambaran jelas terhadap apa
yang akan dilakukan selama 5 tahun masa jabatan. Termasuk, sejauh mana sang
calon memiliki kemauan dan kemampuan untuk mensinergikan sebuah kebijakan serta
mengkoordinasikannya dengan instansi terkait dan pejabat lintas sektoral dan
antar tingkatan pemerintahan, menjadi pertimbangan sejauh mana efektivitas
program yang akan dilaksanakan nantinya.
Program Wakil Rakyat
Dan last but not least adalah program apa yang akan
dilakukan seandainya terpilih selama masa jabatan nantinya. Berbicara program
tentunya dalam kapasitas selaku wakil rakyat dan lembaga legislatif yang
memiliki fungsi anggaran, pengawasan, dan legislasi. Bukan program dalam
konteksi lembaga eksekutif yang memiliki fungsi dan kewenangan yang bersifat
langsung. Hal ini perlu juga disampaikan kepada masyarakat pemilih agar tidak
terjadi kerancuan dalam memaknai fungsi dan kewenangan seorang wakil rakyat.
Program yang direncanakan tentunya harus seusai dengan
kebutuhan masyarakat, realistis, dan dapat diukur pencapaiannya. Realistis ada
skala prioritas dari sekian banyak persoalan yang ingin diselesaikan dan dapat
dicapai dengan anggaran dan waktu yang tersedia. Tidak kalah penting
adalah dapat diukur sejauh mana pencapaian keberhasilannya. Hal ini penting
agar masyarakat dapat mengontrol sejauh mana wakil mereka sudah bekerja serius
dan bersungguh-sungguh atau hanya datang, duduk diam dan duit saja.
Dalam perkembangnnya masyarakat dapat menggunakan tolok ukur
sebagai sebuah penilaian atas kinerja dari wakil rakyat terhadap
program-program yang sudah dijanjikan. Melalui pola-pola partisipasi publik,
dapat diidentifikasi apa saja, berapa besar, kapan, dan bagaimana sang calon
berjanji kepada masyarakat. Kemudian, selama masa menjabat diukur sejauh mana
janji yang terucap mampu direalisasikan. Tentunya yang diukur semata-mata bukan
hanya hasil akhir tetapi juga proses yang dijalankan oleh wakil rakyat selama
menjabat. Hal ini harus menjadi pertimbangan mengingat fungsi dan kewenangan
lembaga legislatif dalam hal budget, legislasi, dan pengawasan.
Oleh karena itu sangat penting artinya sebuah keterbukaan
dan akuntabilitas atas kinerja wakil rakyat yang dapat diketahui secara
langsung ataupun tidak langsung oleh konstituennya. Melalui media sosial
seorang wakil rakyat dapat dilihat dan diukur sejauh mana keberhasilannya dalam
merealisasikan janji-janji politik selama masa jabatannya.
Hasil Akhir
Apabila pola partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam
menentukan calon wakil rakyat sudah dapat dilakukan maka bukan saja akan
dihasilkan wakil-wakil rakyat yang berkualitas tetapi juga wakil-wakil rakyat
yang jujur, dan amanah. Karena mereka paham dan sadar bahwa apabila melanggar
kontrak politik yang sudah diteken bersama rakyat maka dipecat adalah paling
minimal yang mereka harus hadapi selain konsekwensi hukum.
Para wakil rakyat akan bekerja secara serius, fokus dan
terukur untuk program-program yang realistis dan tepat sasaran bagi masyarakat
di daerah pemilihannya. Secara signifikan akan terjadi peningkatan kualitas
hidup masyarakat dengan diberikannya kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat yang
lahir dari kebijakan-kebijakan yang kepada pro rakyat.
Sumber : https://www.facebook.com/notes/wahyu-agung-permana/kampanye-partisipasi-publik-mungkinkah-/10151168287616568
Tidak ada komentar:
Posting Komentar