Senin, 20 Januari 2014

Dikotomi Capres Tua-Muda Melawan Demokrasi

Jakarta – Hasil survei Institut Riset Indonesia (INSIS) tentang partisipasi publik dalam Pemilu 2014 menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat cenderung meningkat jika partai politik mengusung calon presiden (capres) muda di Pilpres 2014.

Namun Sekretaris Fraksi Hanura DPR Saleh Husin menyatakan bahwa dirinya tak sepakat dengan anggapan itu. Dia tak mau membedakan usia dalam hal pencapresan yang menyangkut nasib bangsa lima tahun ke depan.
“Untuk memimpin bangsa yang dibutuhkan bukan capres tua dan muda, melainkan figur yang mampu dan memiliki pengalaman membenahi bangsa. Untuk memimpin bangsa sebesar Indonesia, kita tidak boleh terjebak pada tua muda, laki perempuan namun lebih pada kapasitas dan kapabilitas calon yang bersangkutan,” kata Saleh awal minggu ini.

Hal senada juga disampaikan oleh pengamat politik Dr. Umar S. Bakry, MA. Mendikotomikan calon presiden (capres) tua dan muda adalah cara berfikir yang melawan demokrasi. Apalagi menggalang opini agar publik lebih memilih capres muda daripada capres tua, jelas merupakan tindakan diskriminatif yang bertentangan dengan semangat demokrasi itu sendiri.

“Dalam sistem demokrasi, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan. Tak ada praktek demokrasi di manapun dunia yang mengatur norma bahwa capres muda lebih baik dari capres tua,” demikian disampaikan pengamat politik Dr. Umar S. Bakry, MA kepada wartawan, Jum’at, di Jakarta.

Selain melawan demokrasi, menurut Umar, penggiringan opini publik untuk menolak capres yang sudah berumur juga tidak memiliki logika atau alasan yang mendasar. Tidak ada jaminan dan juga tidak ada statistik yang menunjukkan bahwa presiden berusia muda selalu lebih baik daripada yang berusia tua.

Umar menjelaskan bahwa di banyak negara presiden atau pemimpin berusia lanjut justru dapat membuat sejumlah prestasi gemilang, seperti Ronald Reagan di AS atau Mahathir Muhammad di Malaysia. Sedangkan Presiden Dmitry Medvedev  di Rusia dan Perdana Menteri Yingluck Siwanatra di Thailand yang notabene masih berusia muda ternyata tidak sanggup berbuat banyak untuk mengatasi kesulitan negerinya, ujar Sekjen Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) itu.

Di Indonesia sendiri belum ada trend bahwa pemimpin muda lebih baik dari tokoh-tokoh senior. Menurut Umar, yang ada justru tokoh-tokoh muda banyak yang masuk penjara akibat kasus korupsi yang dilakukannya. Selain integritasnya belum teruji, banyak politisi muda kita justru cenderung bersikap pragmatis dan gemar mempertontonkan gaya hidup hedonis di tengah masyarakat.

Menanggapi survei Institut Riset Indonesia (Insis) yang mengatakan bahwa capres dari generasi muda lebih dikehendaki publik, Umar dengan tegas meragukannya. Hasil survei Insis itu, kata Umar, bertolak belakang dengan temuan Lembaga Survei Nasional (LSN) yang menunjukkan bahwa 61,2% publik tidak mempermasalahkan apakah Presiden RI mendatang berasal dari generasi muda atau generasi tua.

Umar juga menganggap bahwa hasil survei Insis yang menyebutkan partisipasi pemilih dalam Pilpres 2014 akan tinggi jika capres yang berkontestasi berumur di bawah 55 tahun.
Menurut survei LSN, katanya, cuma 15,9% publik yang mengharapkan capres berusia 50-55 tahun. “Mayoritas publik justru tidak mempermasalahkan berapa umur capres yang ideal, karena di mata publik yang penting adalah kualitas kepemimpinan, bukan umurnya tua atau muda,” tegas dosen senior sebuah perguruan tinggi di Jakarta tersebut.

Dalam kapasitasnya sebagai Sekjen AROPI, Umar menyesalkan akhir-akhir ini banyak lembaga riset yang mengingkari prinsip-prinsip profesionalitas dan independensi. Banyak lembaga survei baru bermunculan menjelang Pemilu 2014. Diantara mereka banyak yang tidak memahami dengan baik kode etik survei opini publik dan masih awam dalam penguasaan metodologi riset. Bahkan, menurut Umar, sejumlah lembaga survei telah terjebak menjadi kendaraan politik kontestan Pemilu sehingga hasil-hasil survei yang dipublikasikannya pun di-design sedemikian rupa untuk menguntungkan kontestan tertentu dan mendiskriminasi kontestan lainnya.
“Menggiring opini publik untuk memilih capres muda adalah bentuk tindakan diskriminatif lembaga survei yang bertentangan dengan kode etik dan prinsip independensi,” tegas Umar.

sumber : http://hanura.com/10/blog/dikotomi-capres-tua-muda-melawan-demokrasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BAGIKAN

Translate