Jakarta – Hasil survei
Institut Riset Indonesia (INSIS) tentang partisipasi publik dalam Pemilu
2014 menyimpulkan bahwa partisipasi masyarakat cenderung meningkat jika
partai politik mengusung calon presiden (capres) muda di Pilpres 2014.
Namun Sekretaris Fraksi Hanura DPR Saleh Husin
menyatakan bahwa dirinya tak sepakat dengan anggapan itu. Dia tak mau
membedakan usia dalam hal pencapresan yang menyangkut nasib bangsa lima
tahun ke depan.
“Untuk memimpin bangsa yang dibutuhkan
bukan capres tua dan muda, melainkan figur yang mampu dan memiliki
pengalaman membenahi bangsa. Untuk memimpin bangsa sebesar Indonesia,
kita tidak boleh terjebak pada tua muda, laki perempuan namun lebih pada
kapasitas dan kapabilitas calon yang bersangkutan,” kata Saleh awal
minggu ini.
Hal senada juga disampaikan oleh pengamat politik Dr. Umar S. Bakry, MA.
Mendikotomikan calon presiden (capres) tua dan muda adalah cara
berfikir yang melawan demokrasi. Apalagi menggalang opini agar publik
lebih memilih capres muda daripada capres tua, jelas merupakan tindakan
diskriminatif yang bertentangan dengan semangat demokrasi itu sendiri.
“Dalam sistem demokrasi, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang
sama di depan hukum dan pemerintahan. Tak ada praktek demokrasi di
manapun dunia yang mengatur norma bahwa capres muda lebih baik dari
capres tua,” demikian disampaikan pengamat politik Dr. Umar S. Bakry, MA kepada wartawan, Jum’at, di Jakarta.
Selain melawan demokrasi, menurut Umar, penggiringan opini publik
untuk menolak capres yang sudah berumur juga tidak memiliki logika atau
alasan yang mendasar. Tidak ada jaminan dan juga tidak ada statistik
yang menunjukkan bahwa presiden berusia muda selalu lebih baik daripada
yang berusia tua.
Umar menjelaskan bahwa di banyak negara presiden atau pemimpin
berusia lanjut justru dapat membuat sejumlah prestasi gemilang, seperti
Ronald Reagan di AS atau Mahathir Muhammad di Malaysia. Sedangkan
Presiden Dmitry Medvedev di Rusia dan Perdana Menteri Yingluck
Siwanatra di Thailand yang notabene masih berusia muda ternyata tidak
sanggup berbuat banyak untuk mengatasi kesulitan negerinya, ujar Sekjen
Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) itu.
Di Indonesia sendiri belum ada trend bahwa pemimpin muda lebih baik
dari tokoh-tokoh senior. Menurut Umar, yang ada justru tokoh-tokoh muda
banyak yang masuk penjara akibat kasus korupsi yang dilakukannya. Selain
integritasnya belum teruji, banyak politisi muda kita justru cenderung
bersikap pragmatis dan gemar mempertontonkan gaya hidup hedonis di
tengah masyarakat.
Menanggapi survei Institut Riset Indonesia (Insis) yang mengatakan
bahwa capres dari generasi muda lebih dikehendaki publik, Umar dengan
tegas meragukannya. Hasil survei Insis itu, kata Umar, bertolak belakang
dengan temuan Lembaga Survei Nasional (LSN) yang menunjukkan bahwa
61,2% publik tidak mempermasalahkan apakah Presiden RI mendatang berasal
dari generasi muda atau generasi tua.
Umar juga menganggap bahwa hasil survei Insis yang menyebutkan
partisipasi pemilih dalam Pilpres 2014 akan tinggi jika capres yang
berkontestasi berumur di bawah 55 tahun.
Menurut survei LSN, katanya, cuma 15,9% publik yang mengharapkan
capres berusia 50-55 tahun. “Mayoritas publik justru tidak
mempermasalahkan berapa umur capres yang ideal, karena di mata publik
yang penting adalah kualitas kepemimpinan, bukan umurnya tua atau muda,”
tegas dosen senior sebuah perguruan tinggi di Jakarta tersebut.
Dalam kapasitasnya sebagai Sekjen AROPI, Umar menyesalkan akhir-akhir
ini banyak lembaga riset yang mengingkari prinsip-prinsip
profesionalitas dan independensi. Banyak lembaga survei baru bermunculan
menjelang Pemilu 2014. Diantara mereka banyak yang tidak memahami
dengan baik kode etik survei opini publik dan masih awam dalam
penguasaan metodologi riset. Bahkan, menurut Umar, sejumlah lembaga
survei telah terjebak menjadi kendaraan politik kontestan Pemilu
sehingga hasil-hasil survei yang dipublikasikannya pun di-design
sedemikian rupa untuk menguntungkan kontestan tertentu dan
mendiskriminasi kontestan lainnya.
“Menggiring opini publik untuk memilih capres muda adalah bentuk
tindakan diskriminatif lembaga survei yang bertentangan dengan kode etik
dan prinsip independensi,” tegas Umar.
sumber : http://hanura.com/10/blog/dikotomi-capres-tua-muda-melawan-demokrasi/
sumber : http://hanura.com/10/blog/dikotomi-capres-tua-muda-melawan-demokrasi/